Tentang Aceh Barat

Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Sebelum pemekaran, Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km² atau 1.010.466 Ha dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatera yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai ke sisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 km. Sesudah dimekarkan luas wilayah menjadi 2.927,95 km².

Sejarah

Masa kesultanan Aceh

Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke-16 atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588-1604), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun 1607-1636) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.

Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke-15 telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.

Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad ke-17 telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.

Penjajahan Belanda

Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).

Karesidenan Aceh

Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu :

  1. Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;
  2. Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;
  3. Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan;
  4. Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai;
  5. Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan;
  6. Singkil dengan ibukota Singkil.

Penjajahan Jepang

Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling menjadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.

Baca Loem...

Tentang Aceh Rayeuk

Kabupaten Aceh Besar (Aceh Rayeuk) terletak di ujung barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan merupakan titik awal dari Banda Aceh menuju daerah Aceh dan Sumatera lainnya. Sebelum dimekarkan di akhir tahun 70an, ibukota Aceh Besar adalah kota Banda Aceh, kemudian kota Banda Aceh berpisah menjadi kotamadya sehingga ibukota Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di pegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar juga merupakan tempat kelahiran pahlawan perjuangan nasional Cut Nyak Dhien yang berasal dari Lampadang.

Sekilas


Pada waktu Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh atau Kerajaan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar ditambah dengan beberapa kenegerian/daerah yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Pidie. Selain itu, juga termasuk Pulau Weh (sekarang telah menjadi pemerintah kota Sabang), sebagian wilayah pemerintah kota Banda Aceh, dan beberapa kenegerian/daerah dari wilayah Kabupaten Aceh Barat. Aceh Besar dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Penyebutan Aceh Rayeuk sebagai Aceh yang sebenarnya karena daerah inilah yang pada mulanya menjadi inti Kerajaan Aceh dan juga karena di situlah terletak ibukota kerjaaan yang bernama Bandar Aceh atau Bandar Aceh Darussalam. Untuk nama Aceh Rayeuk ada juga yang menamakan dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Aceh Tiga Segi).

Saat ini Aceh Besar merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan ibukotanya Kota Jantho. Namun, di Kota Jantho hanya terdapat kompleks perumahan dan kantor-kantor pemerintahan, tidak ada losmen ataupun hotel. Kota Jantho dihubungkan dengan labi-labi dengan jarak 60 km dari Banda Aceh, 28 km menuju Saree, dan 12 km menuju jalan utama Banda Aceh - Medan. Kira-kira 12 km dari Kota Jantho ini terdapat air terjun.

Wilayah

Kabupaten Aceh Besar di sisi barat, timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana kota Sabang berada.

Sedang untuk wilayah darat, Aceh Besar berbatasan dengan kota Banda Aceh di sisi utara, Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi selatan dan tenggara.

Bandara Sultan Iskandar Muda merupakan bandara Internasional, salah satu pintu gerbang untuk masuk ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di wilayah kabupaten ini.

Kecamatan-kecamatan di Aceh Besar

Aceh Besar terbagi atas kecamatan-kecamatan sebagai berikut:

1. Baitussalam
2. Darul Imarah
3. Darul Kamal
4. Darussalam
5. Indrapuri
6. Ingin Jaya
7. Krueng Barona Jaya
8. Kuta Baro
9. Blang Bintang
10. Kuta Cot Glie
11. Kota Jantho
12. Kuta Malaka
13. Lembah Seulawah
14. Lho'Nga
15. Leupung
16. Lhoong
17. Mesjid Raya
18. Montasik
19. Peukan Bada
20. Pulo Aceh
21. Seulimeum
22. Simpang Tiga
23. Suka Makmur

Wisata

Makanan khas

Kabupaten Aceh Besar terkenal dengan salah satu makanan khasnya, yakni Bolu manis ala Aceh yang terkonsentrasi di kecamatan Peukan Bada. Bolu ini terkenal dengan citarasanya yang khas, namun kesulitan pengembangan karena kendala dana selain kondisi yang belum sepenuhnya stabil. Selain itu ada pula gulai kambing (kari) dan ayam tangkap yang terkenal kelezatannya.

Wisata budaya

* Museum Cut Nyak Dhien pada mulanya merupakan tempat tinggal pahlawan wanita yang bernama Cut Nyak Dhien. Di dalamnya berisi koleksi sejarah Aceh yang dikelola dan dirawat oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Hanya pondasi yang asli dari bangunan ini, sedangkan yang berdiri sekarang ini adalah hasil renovasi bangunan yang sebelumnya telah dibakar oleh Belanda.

* Masjid Tua Indra Puri berlokasi sekitar 25 km ke selatan arah ke Medan dan dapat ditempuh dengan transportasi apapun. Indra Puri adalah Kerajaan Hindu dan merupakan tempat pemujaan sebelum Islam masuk. Kemudian, Sultan Iskandar Muda memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Dan setelah seluruh masyarakat memeluk Islam, tempat yang sebelumnya kuil diubah menjadi sebuah masjid. Bangunan mesjid berdiri di atas tanah seluas 33.875 m², terletak di ketinggian 4,8 meter diatas permukaan laut dan berada sekitar 150 meter dari tepi Sungai Krueng Aceh.

* Benteng Indra Patra terletak ± 19 km dari Banda Aceh arah ke Krueng Raya, dekat Pantai Ujong Batee. Menurut riwayat dibangun pada masa pra Islam di Aceh yaitu di masa Kerajaan Hindu, Indra Patra. Namun ada sumber yang menyebutkan bahwa benteng ini dibangun pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya menahan serangan Portugis. Benteng ini sangat besar fungsinya pada jaman Sultan Iskandar Muda yang angkatan lautnya, pada waktu itu, dipimpin oleh Laksamana Malahayati.

* Makam Laksamana Malahayati terletak sekitar 32 km dari Kota Banda Aceh. Ia adalah seorang laksamana wanita pertama yang memimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

* Museum Ali Hasymi merupakan kebanggaan lain kota Banda Aceh. Ali Hasymi yang mantan Gubemur Aceh dan seniman memiliki koleksi pribadi yang berharga dan menarik. Kini koleksi beliau dijadikan pajangan di museum tersebut antara lain kitab- kitab karya para ulama besar Aceh tempo dulu, keramik kuno, senjata khas Aceh, cendera mata dari berbagai pelosok dunia, dll.

* Perpustakaan Kuno Tanoh Abee terdapat di Desa Tanoh Abee, di kaki Gunung Seulawah, Aceh Besar. Perpustakaan Tanoh Abee terletak di dalam kompleks Pesantren Tanoh Abee yang didirikan oleh keluarga Fairus yang mencapai klimaks kejayaannya pada masa pimpinan Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee. Beliau meninggal pada tahun 1894 dan dimakamkan di Tanoh Abee. Pengumpukan naskah (manuskrip) Dayah Tanoh Abee telah dimulai sejak Syekh Abdul Rahim, kakek dari Syekh Abdul Wahab. Naskah yang terakhir ditulis pada masa Syekh Muhammad Saat, anak Syekh Abdul Wahab yang meninggal dunia pada tahun 1901 di Banda Aceh, dalam tahanan Belanda.

* Komplek Pemakaman Raja-Raja Aceh di Biluy, Kecamatan Darul Kamal

* Komplek Pemakaman Maharajalela di Siron, Lambaroe.


Wisata alam

• Waduk Keuliling di Kuta Cot Glie
• Pantai Lhok Nga
• Pantai Lam Pu'uk
• Pantai Ujong Batee
• Pantai Lhok Me
• Air terjun Sihom, Lhong
• Air terjun Kuta Malaka
• Air terjun Peukan Biluy
• Taman Hutan Rakyat Po Cut Meurah Intan
• Pusat Latihan Gajah Saree
• Gunung Seulawah Agam
• Cagar Alam Jantho


Referensi dari berbagai sumber

Baca Loem...

Catatan Aceh yang Tercecer, Emas dan Tahta

KALI ini, kita menguak sedikit tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh. Ternyata, Aceh tak cuma memberi modal kepada pemerintah RI, tapi juga kepada Tanah Hijaz pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari bumi Serambi ke negeri Mekkah Almukarramah ini.

Bagi masyarakat Aceh, sumbangan yang paling diingat adalah ketika mereka memberikan emas kepada pemerintah RI untuk membeli pesawat Garuda pada tahun 1948. Sebagiannya juga bisa dilihat pada tugu MONAS (Monumen Nasional). Ini kebanggaan rakyat Aceh.

Namun jika kita kuak sejarah kedermawaan Aceh, maka tradisi menyumbang ini sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.Syahdan, pada tahun 1672 M Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mereka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Seri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Seri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb. Ketika mereka pulang Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah (1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkat emansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883.

Ternyata sumbangan kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Sebagaimana telah saya paparkan bahwa peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti wakaf Habib Bugak Asyi, wakaf Syech Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng), wakaf Muhammad Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi, wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah , Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah. Ada juga wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya. Baru-baru ini ada juga rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah, Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Itu secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah.” Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

* Penulis: M. Adli Abdullah; pemerhati sejarah, adat dan budaya Aceh

Sumber: www.serambinews.com

Baca Loem...

Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh

Mesjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya

Sejarah mencatat, Baiturrahman kembali melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.

Mesjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun Mesjid ini pada abad ke 13. Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur sejarah bumi Serambi Mekah. Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi bangunan semasa zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah. Pada 1873, mesjid ini dibakar oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan Mesjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.

Pada 1957, masa pemerintahan presiden Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama Republik Indonesia pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Renovasi Mesjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.

Semua pemugaran ini dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.

Mesjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Baiturrahman ini menjadi tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas tanggungan beban konflik yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian Mesjid. Rakyat menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma Allah.
Pada halaman Mesjid inilah berdirinya posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Mesjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.

Pasca tsunami perdamaian datang. Mesjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan Mesjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.

dikutip dari www.idaylum.wordpress.com

Baca Loem...

Sejarah Aceh II (Hubungan dengan Barat)

Setelah memposting Sejarah Aceh I dengan bercerita tentang bahasa dan budaya, kali ini saya melanjutkan dengan postingan tentang hubungan aceh dengan dunia barat pada masa dulu.

* Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang sangat mahal harganya.

Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

“Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam. ”

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

* Utsmaniyah

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

* Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan.

Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

* Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.

Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.

Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

* Pasca-Sultan Iskandar Thani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia.

Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

* Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

dikutip dari www.wikipedia.org
Baca Loem...

Sejarah Aceh I

Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, Inggris: Achin, Perancis: Achen atau Acheh, Arab: Asyi, Portugis: Achen atau Achem, Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu.

Dengan pembagian daerah bahasa seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo. Sementara bagian tenggara menggunakan bahasa Alas, seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang. Demikian juga dengan kelompok etnis Klut yang berada di bagian selatan menggunakan bahasa Klut, sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue. Namun demikian masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi menjadi beberapa dialek.

Bahasa Aceh, misalnya, terdapat logat berbicara dengan sedikit berbeda di Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya. Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.

Sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain dari hikayat Aceh, hikayat raja Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dari sejarah narasi tersebut, menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi yang membuat satu dengan yang lain terdapat perbedaan, demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.

Sumber antropologi menyebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa penduduk Aceh terutama Aceh Besar banyak bertempat tinggal di kampung Seumileuk (dataran yang luas) yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blah (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara Jantho dan Tangse. Kemudian suku Mantir ini menyebar ke seluruh lembah Aceh Lhee Sagoe dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Budaya

Pengelompokan budaya dibagi dalam empat bagian berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar, budaya ini mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni ;
  • Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
  • Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
  • Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
  • Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.

Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.

Era Kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.

Era Sultan Iskandar Muda

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Dikutip dari www.wikipedia.org


Baca Loem...

Teuku Cik Di Tiro (1836-1891)

Muhammad Saman, yang kemudian lebih di kenal dengan nama Teuku Cik Di Tiro, adalah seorang pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Jrueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Pidie Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada disana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini didudki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah di bubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Baca Loem...

Cut Nyak Meutia (1870-1910)

Pameo yang mengatakan wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya.

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.


Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.

Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.

Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai.

Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri.

Kematian Pang Nangru membuat beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

dikutip dari :
http://www.tokohindonesia.com

Baca Loem...

Teuku Umar

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia.


1. Riwayat Hidup

Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.

Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu.

Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

2. Pemikiran

Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap.

Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

3. Karya

Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.

4. Penghargaan

Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Sumber : www.melayuonline.com

Baca Loem...

Sedikit Tentang Tjoet Nyak Dhien


Tjoet Nyak Dhien (1848-1908)

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dhien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DHIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dihen memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dhien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dhien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dhien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dhien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dhien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dhien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dhien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dhien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dhien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dhien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dhien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Tjoet Njak Dhien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dhien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dhien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dhien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dhien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.

Tjoet Njak Dhien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Tjoet Njak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

sumber :
http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593

Baca Loem...

Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda
(Aceh, 1593 atau 1590 – 27 Desember 1636)


Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Sultan Mahkota Alam Aladdin Syahjohan ( Al Qahhar ) yang disebut juga dengan Sultan Iskandar Muda memiliki banyak gelar, diantaranya Darmawangsa, Perkasa Alam, Tun Pangkat dan setelah semakin berkembangnya wilayah kerajaan Aceh maka beliau pun bergelar Mahkota Alam.

  • Keluarga dan masa kecil
Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

  • Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

  • Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun disisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

  • Kontrol di dalam negeri
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

  • Hubungan dengan bangsa asing
1. Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I.

Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

2. Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

3. Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

4. Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Dikutip acehpedia

Baca Loem...